iThenticate

Document Viewer
Similarity Index
18%

ETIKA KONSUMSI ISLAM DALAM IMPULSIVE BUYING

By: Ermawati Ermawati

As of: Oct 27, 2021 4:27:47 AM
5,486 words - 61 matches - 48 sources

sources:

paper text:

ETIKA KONSUMSI ISLAM DALAM IMPULSIVE BUYING Ermawati* Abstract Impulsive Buying merupakan pola perilaku konsumen dalam membeli
dimana konsumen melakukan pembelian secara spontan tanpa adanya perencanaan terjadi dengan tiba-tiba dan keinginan yang kuat untuk membeli sesuatu dengan segera tanpa adanya suatu pertimbangan untuk konsekuensi yang akan dihadapi . Perilaku ini
timbul dipengaruhi oleh rasa penasaran, suasana hati, lingkungan toko, display dan promosi yang ditawarkan. Etika konsumsi merupakan aturan tentang baik dan buruk dalam pemanfaatan barang atau jasa. Islam menganjurkan untuk mengikuti prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan secara tidak berlebih-lebihan, sebagai bentuk ketaatan pada Allah swt., memenuhi tanggung jawab keluarga, memiliki skala prioritas, persediaan untuk keturunan dan juga untuk sosial melalui pemenuhan kewajiban zakat, sedekah dan infaq. Dengan maraknya fenomena impulsive buying maka diperlukan sosialisasi tentang pandangan etika konsumsi Islam dalam berbelanja tanpa terencana. Tulisan ini akan menyorot gaya belanja impulsif menurut etika konsumsi Islam. Keywords: Impulsive buying, etika konsumsi Islam A. Pendahuluan Kegiatan konsumsi yang dilakukan setiap hari oleh siapapun, bertujuan untuk memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat kemakmuran dalam pengertian terpenuhinya berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun sekunder, barang mewah maupun kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Daya konsumsi seseorang memberikan gambaran tingkat kemakmuran seseorang atau masyarakat. Konsumsi merupakan kegiatan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Konsumsi dalam Islam ialah pemenuhan kebutuhan atau penggunaan komoditas yang sesuai dalam al-Quran dan hadis, baik berupa pakaian, makan, minum, bahkan sedekah dan sebagainya untuk mencapai kemashlatan di dunia dan di akhirat. Pembahasan pemenuhan
kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka maqasid syariah
.
Sebagai salah satu bentuk mendekatkan diri kepada Allah swt
adalah melalui konsumsi. Konsumen yang terjebak dalam lingkaran konsumerisme tidak akan bisa memisahkan antara keinginan dan kebutuhan. Ditambah lagi dengan beragamnya pilihan barang dan jasa, sehingga banyak konsumen mengutamakan tuntutan gaya hidup memprioritaskan keinginan daripada pertimbangan mashlahat. Perilaku konsumen dalam memenuhi kebutuhan seperti di atas, dapat menstimulan gaya hidup impulsive buying, yaitu menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa secara spontan tanpa perencanaan. Dalam beberapa penelitian, hampir setiap orang pernah membeli produk tanpa rencana, terutama Wanita. Impulsive buying harus memperhatikan aspek-aspek yang tergolong dalam kebutuhan primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat) dan tersier (tahnisiyat) dengan semangat maqasid syariah, sehingga seseorang akan lebih mengedepankan kebutuhan daripada keinginan untuk membatasi keinginan yang tidak terbatas.1 Berdasarkan kondisi gaya berbelanja impulsive buying maka setiap kegiatan konsumsi dalam Islam juga harus memperhatikan rambu-rambu yang menjadi etika dalam Islam. Namun, yang perlu menjadi dipertimbangkan adalah motivasi belanja impulsive itu sendiri. Sebagaimana banyak tipe dan alasan konsumen dalam berbelanja. 1Andi
Bahri , “Etika Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Islam.” Jurnal Studia Islamika 11, no. 2 (Desember 2014
). B. Pembahasan 1. Etika Konsumsi Sebelum membahas tentang etika konsumsi lebih lanjut, perlu kiranya memaparkan akar kata keduanya. Kata “etika”
berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu “ethos” dan “ethikos”. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik
.2
Etika memiliki arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang tentang akhlak , serta nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat .3 Etika
, secara terminologi, dikenal sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata lainnya adalah teori tentang nilai. Dalam Islam, teori nilai mengenal lima kategori baik-buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya.4
Etika menurut Daud Ali adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang persoalan baik dan buruk berdasarkan akal pikiran manusia
.5 Etika merupakan cabang ilmu filsafat, terdapat banyak aliran filsafat yang memberikan pendapatnya, sebagaimana berikut : a. Relativisme yaoti keputusan etis dibuat berdasarkan kepentingan pribadi dan kebutuhan pribadi. b. Utilitarianisme (kalkulasi untung dan rugi) yaitu keputusan etis dibuat berdasarkan hasil yang diberikan oleh keputusan- keputusan ini. Suatu tindakan disebut etis jika memberikan keuntungan terbesar bagi sejumlah besar orang. 2Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia pustaka, 2000), 217 3Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012
). 4Sarwoko, Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan (Jakarta: Salemba), 80. 5Muhammad
Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
). c. Universalisme (kewajiban) yaitu keputusan etis yang menekankan maksud suatu tindakan atau keputusan. Keputusan yang sama harus dibuat oleh setiap orang di bawah kondisi yang sama. d. Hak (kepentingan individu) yaitu keputusan etika yang menekankan nilai-nilai individu, kebebasan untuk memilih. e. Keadilan distributif (keadilan dan kesetaraan) yaitu keputusan etika yang menekankan nilai-nilai individu, keadilan dan menegaskan pembagian yang adil atas kekayaan dan keuntungan.6
Kata Konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu consumption, yang berarti
“the act or process of consuming” (perbuatan atau proses mengkonsumsi) atau “the utilization of economic goods in the satisfaction of wants or in the process of production resulting chiefly in their destruction, deterioration, or transformation” (Penggunaan barang-barang yang bersifat ekonomi dalam memenuhi atau memuaskan keinginan; atau dalam proses produksi yang menghasilkan pengrusakan, kemerosotan dan perubahan).7 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumsi adalah pemakaian barang hasil produksi (bahan makanan, pakaian dan sebagainya);barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup kita.8 Dalam Bahasa Arab, kata konsumsi dikenal dengan kata istihlak, yang berakar dari kata halaka, dengan masdar halākan- hulkan-hulūkan-tahlūkan-mahlikan-tahlukatan. Kemudian mendapat tambahan tiga huruf yaitu hamzah, sin, dan ta menjadi istahlaka- yastahliku, diartikan yang menjadikan hancur, binasa, habis, mati atau rusak. Istahlak al-mal berarti menafkahkan atau menghabiskan harta.9 6Rafik
Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, terj. Muhammad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
), 17. 7Frederick C. Mish, ed., Merriam-Webster‟s Collegiate Dictionary (Ontario: Thomas Allen & Son Limited, 1993), 249. 8Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 728 9Louis Ma‟luf, Munjid fi al-lughah wa al-A`lām (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), h. 871. Lihat juga Ibn Manzur, Lisnul Arabi, bab halaka. Ayat-ayat al-Qur‟an yang menggunakan akar kata istihlak yaitu kata halaka dalam berbagai bentuknya disebutkan sebanyak 68 kali dalam 63 ayat.10 Ar-Raghib al-Ashfihani mengatakan bahwa asal kata halaka memiliki 4 pengertian, yaitu hilangnya sesuatu darimu sementara pada yang lain ada (Q.S. Al-Hāqqāh/69: 29), Kedua, hancur dan rusaknya sesuatu (Q.S. Al-Baqarah/2: 205), ketiga wafat atau meninggal dunia (Q.S. An-Nisā‟/4: 176), keempat binasanya sesuatu dari alam yang disebut juga fana (Q.S. Al-Qaṣhaṣ/28: 88).11 Berdasarkan pengertian tersebut, halaka dalam berbagai bentuknya merujuk kepada lima makna, rusak, meninggal dunia, binasa, hancur, dan menghabiskan harta. Makna yang paling banyak dikemukakan di dalam Al-Qur‟an adalah binasa dan hancur, yang jika dikaitan dengan kisah kekafiran orang-orang yang membangkang dan akhirnya Allah menghancurkan mereka. Menariknya, kehancuran dan kebinasaan umat terdahulu banyak dengan mempergunakan kata halaka sehubungan dengan kehidupan umat terdahulu yang bermewah-mewah dengan kekayaannya. Konsumsi dalam ilmu ekonomi diartikan sebagai setiap perilaku seseorang dalam menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, perilaku konsumsi juga berkenaan dengan perilaku membeli, memakai baju, membeli dan memakai kendaraan, membeli dan memakai sepatu dan sebagainya.12 Al-Ghazali berpandangan bahwa konsumsi berkaitan dengan makan, sangat penting dalam kehidupan manusia dan beragama. Makanan dalam agama diumpamakan sebagai pondasi dari suatu bangunan, bangunan akan tegak dan menjulang jika pondasi teguh dan kuat. tetapi bangunan tersebut akan roboh jika pondasinya lemah dan 10Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Muhfaras li Alfa>z} al-Qur’an, 906- 907. 11Ar-Raghib mencatat bahwa kata ini di dalam maṭbu`ah disebutkan memiliki 3 pengertian, kemudian di tambah menjadi empat pengertian. Ar-Raghib Al-Aṣfihāni, Mufradāt li Alfāẓ Al-Qur‟an (Beirut: Dār al-Ma’rifah: 1998), 843-844. 12Imammudin Yuliadi, Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar (Yogyakarta, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2001), 179 bengkok. Seperti halnya dengan makan merupakan kebutuhan pokok manusia, yang akan memberikan energi untuk melakukan kegiatan sehari hari. Jika seseorang tidak makan akan menjadi lemah dan roboh seperti makanan. Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas maka konsumsi sebagaimana analoginya dengan arti di Barat, yaitu menggunakan dan lain sebagaainya maka tidak terdapat perbedaan. Apalagi dikaitkan dengan penyebutannya konsumsi sebagai halaka dalam Bahasa Arab maka dapat dikatakan bersesuaian. Namun, dalam hal tujuan berbeda. Konsumsi dalam Islam dapat ditemukan dalam QS. Al- Baqarah/2: 168. مََٰٰٓٓۡكُل ۥَٰٓهَُٰٓنَّإِ نََِٰٰٓٓطَٰٓ َٰٓۡبشَِّّلٱ تَِٰٓوَٰٓطُخُ آَْٰوعُ تَِّٗتلََٰٓ و آَٰ َِٰٓٗٗ لَََِّٰٰٓٓٗلَٰٓح ضِرَٰۡٓ لَٰٓۡٱفَِٰٓ ِ آَٰمَّمِ آَْٰو ُكُُ سَُٰٓالَّنٱ آَٰهيَّأيَٰٓ َٰٓ يََٰٰٓٓنٌ مَِّٗ وَٰٓدُعبَٰٓ
Terjemahnya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Ayat di atas menyampaikan informasi bahwa
kegiatan mengkonsumsi
dalam Islam merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt
., selama mengikuti koridor ketaatan tersebut, yaitu konsumsi yang halal dan sesuai aturan Allah lainnya berkenaan dengan konsumsi. Selain itu, hadis Nabi saw., juga memberikan kabar tentang konsumsi sebagaimana dalam hadis berikut ini: نِبْ ورِمْعَ نْعَ ةَدَاتَقَ نْعَ مٌاهَََّنََ أَبَنْأَ نَورُاهَ نُبْ دُيزِيَ انَثَدَّحَ ةَبَيْشَبِ أَِ نُبْ رِكْبَ وبُأَ انَثَدَّحَ اوقُدَّصَتَوَ اوبُرَشْاوَ اولُكُ مَلَّسَوَ هِيْلَعَلََُّّل ا ىلَّصَلََِّّل
ا لُوسُرَ لَاقَ لَاقَ هِدِجَ نْعَ هِيبِأَ نْعَ بٍيْعَشُ
13.)هجام نبا هاور( ةٌلَيمََِ وْأَ فٌارَسْإِ هُطْلِايََُلََْ امَ اوسُبَلْاوَ Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah 13Abu> ‘Abdullah Muh}ammad bin Yazi>d al-Qazwini>, Sunan Ibnu Ma>jah, Juz 2, Kitab liba>s, ba>b al-bas ma> syi’ta, ma> akht}a>aka sarafin aw makhi>latin, nomor hadis 3605 (Juz: II; Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), 601.
memberitakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari ‘Amru bin Syu‘aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata, "Rasulullah sallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda
: "Makan dan minumlah, bersedekah dan berpakaianlah kalian dengan tidak berlebih-lebihan atau kesombongan (HR. Ibnu Majah). Berdasarkan informasi ayat dan hadis di atas, konsumsi dalam Islam mencakup makna pemakaian atau pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani, materi dan immaterial, bahkan pemenuhan kebutuhan emosional dan spiritual demi mencapai kebutuhan pencapaian keridhaan dan ketaatan pada Allah swt., Untuk itu, tujuan konsumsi dalam Islam memiliki peranan penting dalam membina kesejahteraan dan keteraturan yang ada dalam sebuah sistem kemasyarakatan, baik secara pribadi maupun sosial untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. Al-Qaṣṣaṣ/28: 77). Sebagaimana yang dituntunkan oleh nilai-nilai al-Qur‟an dan Sunnah, aktivitas konsumsi mencakup kegiatan menghabiskan barang atau uang dengan mengikuti prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan seseorang yang tidak berlebih-lebihan, memenuhi tanggung jawab keluarga, persediaan untuk keturunan dan juga untuk kepentingan orang lain atau sosial melalui pemenuhan kewajiban zakat, sedekah dan infaq di jalan Allah.14 14M.N. Siddiqi,
The Economics of Enterprise in Islam (Lahore: Islamic Publications Ltd
., 1972), 14. 2. Dasar Etika Konsumsi Islam Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi, konsumsi di dalam Islam tidak bisa lepas dari etika umum tentang norma dan akhlaq dalam ekonomi Islam berikut ini15 : a. Bercirikan ketuhanan Ekonomi Islam berasal dari Allah swt., dan bertujuan akhir kepada Allah swt., serta menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah swt,. Akidah adalah landasan utama dalam ekonomi Islam, artinya kegiatan ekonomi juga merupakan kegiatan hanya untuk menyembah dan mengagungkan Allah swt., semata, sehingga dalam melakukan kegiatan ekonomi manusia memang harus mewujudkan kesejahteraan, b. Berlandaskan etika
Islam tidak memisahkan ekonomi dan etika, sebagaimana tidak memisahkan ilmu dan akhlaq, politik dan etika
. Bukan kebebasan tanpa kendali dalam Islam. Dalam hal konsumsi, prinsip- prinsip Islam juga mengatur apa yang baik dan apa yang tidak baik dilakukan seseorang dalam konsumsi dilihat dari pandangan masyarakat secara umum. Etika konsumsi mengajarkan bahwa kegiatan konsumsi seseorang tidak akan mengganggu hak-hak orang lain. c. Bercirikan kemanusiaan Ciri kemunusiaan dalam konsumsi Islam adalah menyediakan sarana yang baik untuk manusia, baik berupa unsur materi dan unsur spritual. Termasuk dalam hal konsumsi. Islam tidak menganggap suci orang yang tidak makan, tidak minum dan tidak berumah tangga. Bahwa kegiatan konsumsi adalah kegiatan yang sesuai dengan kemanusiaannya manusia. d. Bersifat keseimbangan Keseimbangan yang dimaksud adalah tidak berlandaskan kapitalis yang berorientasi kepada individualisme yang sama sekali tidak memperhatikan kepentingan orang lain, maupun sebaliknya, bukan berlandaskan sosialisme yang berorientasi kepada penghilangan 15Yusuf
Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, terj. Zainal Arifin, Lc ,dkk ( Jakarta: Gema Insani Press
, 2011), 50-71. setiap hak individu. Asas dalam konsumsi Islam adalah keseimbangan yang adil, yang terlihat jelas menghormati hak individu dan masyarakat. Islam itu berada di tengah-tengah antara iman dan kekuasaan. Imam Syatibi berpendapat bahwa tanggung jawab syariah adalah untuk menjaga maqasid syariah. Tanggung jawab ini juga berkaitan dengan perilaku konsumsi yang harus diperhatikan oleh setiap muslim dalam kehidupannya. Tanggung jawab tersebut terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu:16 a. Dharuriyah Dharuriyah ialah tanggungjawab yang harus ada dalam menegakkan maslahat agama dan dunia, jika tidak ada maka tidaklah akan tegak maslahat tersebut secara benar, bahkan akan rusak, hancur dan hilang dari kehidupan bahkan selanjutnya juga nanti di akhirat akan menimbulkan kerugian yang nyata. Adapun yang termasuk dharuriyat al-hamsi tersebut adalah menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan atau kehormatan, dan menjaga harta. Dalam hal konsumsi juga seseorang dilarang melakukan konsumsi yang membahayakan hal yang lima di atas. b. Hajjiyah Hajiyyah (sekunder) adalah segala sesuatu yang oleh hukum syara tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok di atas, tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesempitan (musyaqat) atau berhati-hati (ihtiyah) terhadap lima hal tersebut. Hajiyyat dalam kaitannya dengan konsumsi, seperti diharamkannya kikir, mubazir dan boros, karena walaupun tidak menyebabkan lenyapnya harta, tetapi maksudnya adalah menghilangkan kesempitan dalam penegakan hal lima di atas. c. Tahsiniyah. Tahsiniyah (pelengkap) adalah kegiatan yang
harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat
. Artinya, jika tidak dipenuhi, maka 16Syatibi. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariahal (Jil. II; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyahal, t.th), 7-9. kehidupan manusia kurang harmonis oleh pertimbangan nalar sehat dan suatu hati nurani. Kegiatan tahsiniyah dalam konsumsi bisa dengan memberikan sedekah kepada orang yang sangat membutuhkan, sebagai bentuk kepedulian, bersopan santun dalam melakukan makan dan minum, konsumsi segala sesuatu yang bersih, tidak mengandung penyakit, dan lain sebagainya. Berkenaan dengan konsumsi maka tanggung jawab manusia untuk memperhatikan berbagai kepentingan yang lain adalah suatu kewajiban. Islam tidak menganjurkan konsumsi dengan mengambil hak orang lain atau pun memenuhi kebutuhan tanpa memperhatihan aspek lain yang melengkapi keharmonisan. Etika konsumsi Islam dapat diartikan sebagai pemanfaat atau penggunaan barang dan jasa yang sesuai ajaran baik dalam Islam, yaitu berdasarkan al-Qur’an dan Hadis. Informasi berkenaan dengan aturan baik tentang konsumsi tampak di bawah ini: a. Rezeki yang halal dan baik Dalam QS. Al-Maidah/5: 88 dijelaskan bahwa rezeki yang bisa dikonsumsi adalah yang halal dan baik. Konsep halal sudah jelas dalam ayat yang lain, sedangkan konsumsi yang baik adalah sesuai dengan anjuran kesehatan. ُكُُ و وآَْٰ مِمَّآَٰ رزقكُمَُٰٓ ٱ َّب َُٰٓلََّّل حلَٰٓلََِّٰٓٗ َِٰٓٗٗ آََٰٰٓ وٱَٰٓتَّقُوآَْٰ ٱ َٰٓلََّّل ٱ ِلَّيََٰٰٓٓ أنتُمَٰٓ بِهِۦَٰٓ مُؤَٰٓۡمِنُونََٰٰٓٓ َٰٓ
Terjemahnya: Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya
.
Kata halâlan berasal dari kata halla yang berarti lepas atau tidak terikat .17 Secara etimologi kata halâlan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat denganketentuan- ketentuan yang melarangnya. Atau diarktikan sebagai segala sesuatuyang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi
. 17Dâr al-Masyriq, al-Munjid Fî Lugah wa al-A‘lâm (Beirut: Dâr al-Masyriq, 2002), 147.
Sedang kata thayyibah berarti lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama
.18 b. Ibadah/Bentuk ketaan kepada Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 168: مََٰٰٓٓۡكُل ۥَٰٓهَُٰٓنَّإِ نََِٰٰٓٓطَٰٓ َٰٓۡبشَِّّلٱ تَِٰٓوَٰٓطُخُ آَْٰوعُ تَِّٗتلََٰٓ و آَٰ َِٰٓٗٗ لَََِّٰٰٓٓٗلَٰٓح ضِرَٰۡٓ لَٰٓۡٱفَِٰٓ ِ آَٰمَّمِ آَْٰو ُكُُ سَُٰٓالَّنٱ آَٰهيَّأيَٰٓ َٰٓ يََٰٰٓٓنٌ مَِّٗ وَٰٓدُعبَٰٓ
Terjemahnya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu
. c. Tidak boros
حَدََّثنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَِ شَبِيْبَةَ حَدََّثنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَ اهَََّنََمٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ
ا صَلََِّّللَّى ا عَلََُّّللَيْهِ وَسَلَّمَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا مَا ايََُلََْلِطْهُ إِسْرَافٌ أَوْ يمََِلَةٌ (رواه ابن ماجه). 19 Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah memberitakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari ‘Amru bin Syu‘aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata, "Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Makan dan minumlah, bersedekah dan berpakaianlah kalian dengan tidak berlebih-lebihan atau kesombongan (HR. Ibnu Majah). Selain itu, hadis di bawah ini juga mengabarkan yang sama, yaitu: 18Abdul
Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jil. VI; Jakarta: PT . Ichtian Baru van Hoeve
, 2003), 506-507. 19Abu ‘Abdullah
Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Juz 2
, Kitab libas, bab al-bas ma syi’ta, ma akhaaka sarafin aw makhilatin, nomor hadis 3605 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 601. قَالَ اِْلْ مَامُ أَ دُحَْْ: حَدََّثنَا أَبُو الْمُغِيَرةِ، حَدََّثنَا سُلَيْمَانُ بْنُ سُلَيْمٍ الكِناني، حَدَّثَنَا بْيََيََْنُ جَابٍِر الَلطَّائِيَّ عْسََِتُ الْمِقْدَامَ بن معد يكرب الْكِنْدِيَّ قَالَ: عْسََِتُ رَسُولَ ا صَلََِّّللَّى ا عَلََُّّللَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مَ آلَََدَمِيًّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ، حَسْبُ ابْنِ آدَمَ أَكَ تٌلََ يُقِمْنَ صُلبه، فَإِنْكَانَ فَاعًِ 20 امَََلَلَةَ، فَُثلْثٌ طعامٌ، وَُثلُثٌ شرابٌ، وَثُلُثٌ لِنَفَسَهِ". َ Artinya: Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Salim Al-Kalbi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Jabir At-Tai; ia telah mendengar Al-Miqdam ibnu Ma'di Kariba Al-Kindi bercerita bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tiada suatu wadah pun yang dipenuhi oleh anak Adam yang lebih jahat daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang sulbinya. Dan jika ia terpaksa melakukannya, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk napasnya. d. Sesuai kebutuhan Hadis-hadis pada klasifikasi ini diriwayatkan melalui 2 jalur sanad dan 3 mukharrij, yaitu Muslim, al-Turmuzi dan Ahmad bin Hanbal. Hadis-hadis tersebut dapat dilihat pada lampiran. Salah satu di antaranya, hadis yang diriwayatkan oleh al-Turmuzi berikut ini:بِ
حَدََّثنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا احََّْدُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيَّوبَ عَنْ أَِ قِبِ بَلََةَ عَنْ أَِ أَبِ اسََْءَ عَنْ َثوْ نَبََ أَنَّ النََِّّ صَلَّى
ا عَلََُّّللَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَفْضَلُ الدِينَارِ دِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ
ِ سَفِبِيلِ ا وَلََِّّلدِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى أَصْحَابِهِ ِ سَفِبِيلِ ا قَلََِّّلالَ أَبُو قِ بَلََةَ بَدَأَ لْبَِعِيَالِ قَثَُُّالَ
فَأَيَّ رَجُلٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ رَجُلٍ يُنْفِقُ عَلَى عِيَالٍ لَهُ صِغَارٍ يُعِفَّهُمْ ا بِلََُّّلهِ وَيُغْنِيهِمْ ا بِلََُّّلهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
(رواه الترمدى). 21 20Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Jil: IV; Beirut: Dar al-Risalah al- ‘Ilmiyyah, 2009), 448. 21Abu ‘Isa
Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dahhak al- Turmuzi, Sunan Turmuzi, Juz
3, Kitab al-Birr, bab ma ja’a fi al-nafaqati fi al-ahli, nomor hadis 1966., h. 315
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceitakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Asma’`i dari Sa |uban bahwa Nabi sallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda
: “Dinar yang paling utama adalah Dinar yang diinfakkan seseorang untuk keluarganya, Dinar yang dibelanjakan seseorang untuk kendaraannya di jalan Allah, dan Dinar yang dibelanjakan oleh seseorang untuk para sahabatnya di jalan Allah.”
Abu Qilabah berkata; Beliau memulai dengan keluarga. Kemudian beliau
berkata: “Lalu siapakah yang lebih besar (pahalanya) daripada seorang yang membelanjakan hartanya untuk keluarganya, dimana dengannya Allah memuliakan mereka dan memberi mereka kecukupan?”
Abu ‘Isa berkata; Ini adalah hadis hasan sahih (HR
. al-Turmuzi). e. Terencana Konsumsi dalam Islam menjelaskan tentang pemenuhan kebutuhan yang selalu direncanakan. Adanya komitmen untuk merencanakan setiap pendapatan karena kebutuhan seringkali berbeda seiring berkembangnya kebutuhan. Kondisi inilah yang di back up oleh QS. Al-Hasyr: 18: َّ يَٰٓأيَّهآَٰ ٱ ِلَّينَٰٓ ءامنُوآَْٰ ٱتَّقُوآَْٰ ٱ َٰٓلََّّل ولَٰٓۡنرُ ََٰٰٓٓۡ نفَٰٓۡسََٰٰٓٓ مَّآَٰ قدَّمتََٰٰٓٓۡ لِغدََٰٰٓٓ وٱَٰٓتَّقُوآَْٰ ٱ ََٰٰٓٓلََّّل إِنََّٰٓ ٱ َٰٓلََّّل خِٗ يَُٰٓرَٰٓ
بِمآَٰ تعَٰٓۡملُونََٰٰٓٓ َٰٓ Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
.
Islam memposisikan konsumsi sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang tidak sekadar bertujuan mengumpulkan pahala menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah maslahah (public interest or general human good) atas kebutuhan dan kewajiban
. 3. Impulsive Buying Beberapa pakar memberikan definisi tentang impulsive buying, diantaranya adalah Mowen dan Minor menyatakan bahwa
impulsive buying adalah tindakan membeli yang sebelumnya tidak diakui secara sadar sebagai hasil dari suatu pertimbangan atau niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko
.22 Engel dan Blacwell
mendefinisikan pembelian impulsif sebagai suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko
.23 Selain itu, Rook mendefinisikan impulsive buying sebagai pembelian yang tidak rasional dan pembelian yang cepat serta tidak direncanakan, diikuti dengan adanya konflik pikiran dan dorongan emosional. Dorongan emosional tersebut terkait dengan adanya perasaan yang mendalam yang ditunjukkan dengana melakukan pembelian karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan segera, mengabaikan konsekuensi negative, merasakan kepuasan dan mengalami konflik di dalam pikiran. Amir berpandangan bahwa pembelian impulsif adalah kecenderungan konsumen untuk melakukan pembelian secara spontan, tidak terefleksi, terburu-buru didorong oleh aspek psikologis emosional terhadap suatu barang dan tergoda atas ajakan pasar. 24 Selain itu, beberapa peneliti menyamakan antara impulsive buying dan unplanned buying, dimana unplanned buying diartikan sebagai
suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan terlebih sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko
.25 Bahkan lebih ekstrim lagi, dengan mengatakan bahwa 22Mowen, J.C. dan M. Minor, Consumer Behavior and Marketing Strategy (Ed. V; Singapore: The McGraw Hill Companies, Inc., 2002), 20 23Engel J dan Blackwell, Consumer Behaviour (Chicago: Dryden Press, 1995. 24Amir M. Taufiq, Manajemen Ritel: Panduan Lengkap Pengelolaan Toko Modern, Edisi Pertama (Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi, 2004). 25Engel,
J.F., R.D, Blackwell dan P.W. Miniard, Perilaku Konsumen . Edisi Keenam ( Jakarta : Binarupa Aksara, 1995
). impulsive
buying bersifat hedonis dan akan menstimulasi konflik emosional di dalam diri konsumen
.26
Konflik emosional yang biasanya terjadi adalah munculnya keinginan yang kuat untuk memiliki barang yang dilihatnya dan harus segera dipenuhi, perasaan kesal jika tidak mendapatkan barang tersebut, dan kondisi emosional lain, salah satunya adalah takut dan cemas karena belum memiliki barang tersebut
. Belanja impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai belanja tanpa perencanaan, diwarnai dengan kuat untuk membeli yang muncul secara tiba-tba dan sering kali sulit untuk ditahan, hal itu diiringi dengan perasaan menyenangkan dan penuh gairah. Menurut penelitian yang dilakukan Rook yang dikutip pada Engel, et al. impulse buying juga cenderung dapat terdiri dari satu atau lebih karakteristik berikut : a. Spontanity impulse buying yang terjadi secara spontanitas dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang, seringkali karena respon terhadap stimulasi visual langsung ditempat penjualan. b. Disregard for consequences (mengabaikan konsekuensi) yaitu keinginan untuk membeli dapat menjadi tidak dapat ditolak sampai-sampai konsekuensi negatif yang mungkin terjadi diabaikan. c. Power, compulsion and intensity (kekuatan, kompulsi, dan intensitas) yaitu adanya motivasi untuk mengesampingkan halhal lain dan bertindak secepatnya. d. Excitement and stimulation (kegairahan dan stimulasi) yaitu keinginan membeli tiba-tiba ini seringkali diikuti oleh emosi seperti “exiting”, “thrilling”, atau “wild”.27 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi impulsive buying, yaitu : 26Rook, D. W., & Hoch, S. J., “Consuming Impulses”. Consumer Research 12, (1985): 23-27. 27Utami Christina Widya,
Manajemen Ritel: Strategi dan Implementasi Operasional Bisnis Ritel Modern di Indonesia (Jakarta: Salemba Empat, 2010), 68
. a. Karakteristik produk, karakteristik pemasaran dan karakteristik konsumen yang muncul sehubungan dengan proses pembelian. Karakteristik produk, yaitu memiliki harga yang rendah, sedikit kebutuhan terhadap produk tersebut, siklus kehidupan produknya pendek, ukurannya kecil atau ringan dan mudah disimpan. b. Faktor marketing, dalam marketing
hal yang mempengaruhi pembelian impulsif adalah distribusi massa dan self-service outlet
. Ketersediaan informasi secara langsung berhubungan dengan produk yang dipasarkan. Pemasangan iklan, barang yang dipamerkan, websites, penjaga toko, paket-paket, diskon yang diberikan, dan sumber yang bebas informasi konsumen menjadi daya tarik tersendiri;
posisi barang yang dipamerkan dan lokasi toko yang srategis dapat mempengaruhi
pembelian impulsif.
Kunjungan ke toko membutuhkan waktu, energi, dan uang, jarak kedekatan dari toko seringkali
memberikan pengaruh terhadap konsumen dalam hal pembelian. c. Karakteristik konsumen yang mempengaruhi pembelian impulsif meliputi; kepribadian,
demografis yang terdiri dari gender, usia, status perkawinan, pekerjaan dan Pendidikan
dan yang terakhir adalah karakteristik sosio-ekonomi yang mempengaruhi tingkat pembelian impulsif. Pembelian impulsif merupakan pembelian yang tidak secara khusus direncanakan. Loudon dan Bitta.menggolongkan pembelian ini pada empat tipe yaitu: a. Pure impulse merupakan pembelian secara impulse yang dilakukan karena adanya luapan emosi dari konsumen sehingga melakukan pembelian terhadap produk di luar kebiasaan pembeliannya. Dikategorikan sebagai pembelian pure impulse karena di luar perilaku pembelian normal dan hanya untuk memuaskan keinginan yang didasarkan pada luapan emosi. b. Suggestion impulse impuls saran merupakan pembelian yang terjadi pada saat konsumen melihat produk, melihat tata cara pemakaian atau kegunaannya, dan merasa memerlukan hingga memutuskan untuk melakukan pembelian. Suggestion impulse dilakukan oleh konsumen meskipun tidak benar-benar membutuhkannya dan pemakainnya masih akan digunakan pada masa yang akan datang. Biasanya tipe ini didasari stimulus pada toko dan ditunjang dengan pemberian saran, baik dari sales promotion, pramuniaga maupun teman. c. Reminder impulse impuls pengingat merupakan pembelian yang terjadi karena konsumen tiba-tiba teringat untuk melakukan pembelian produk tersebut. Dengan demikian, konsumen telah pernah melakukan pembelian sebelumnya atau telah pernah melihat produk tersebut dalam iklan. Biasanya tipe ini didasari dorongan yang muncul saat melihat barang pada rak toko, display atau teringat informasi lainnya tentang suatu produk. d. Planned impulse impuls terencana merupakan pembelian yang terjadi ketika konsumen memasuki toko dengan harapan melakukan transaksi pembelanjaan berdasarkan diskon, kupon, dan lain sebagainya tanpa merencanakan produk yang akan dibelinya. Konsumen juga membeli produk lain yang saat itu dijual dengan harga khusus (diskon, cuci gudang) karena mengingat kebiasaan mengkonsumsi produk tersebut. 4. Impulsive Buying Perspektif Etika Ekonomi Islam Perilaku konsumtif dapat melahirkan sifat materialistik, yaitu memenuhi hasrat yang besar untuk memiliki suatu benda tanpa memperhatikan kebutuhan.
Penyamaan arti antara kebutuhan dan keinginan akan berdampak pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran . Bagi konsumsi konvensional
, kebutuhan adalah senilai dengan keinginan, bahwa keinginan ditentukan oleh konsep kepuasan (satisfaction). Lain halnya dengan pandangan Al-Ghazali, bahwa kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah, yang tidak dapat dipisahkan dengan tuntunan maqasid syariah. Al-Ghazali memasukkan “keinginan” (wants) dalam motif aktivitas ekonomi terutama dalam konsumsi. Kebutuhan (needs) menjadi nafas dalam perekonomian bernilai moral Islam, bukan keinginan. Kebutuhan lebih didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan (al-raghbah wa al-shahwah/wants) didefinisikan sebagai desire (kemauan) manusia atas segala hal. Dengan demikian, ruang lingkup definisi keinginan akan lebih luas dari definisi kebutuhan.28 Di masyarakat seringkali ditemui kejadian pembelajaan yang tidak direncanakan sebelumnya. Konsumsi Islam memprioritaskan kebutuhan yang sesuai etika konsumsi, yaitu memperhatikan aspek- aspek tergolong kebutuhan primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat) dan tersier (tahnisiyat) dengan semangat maqasid syariah. Dengan demikian, lebih mengedepankan kebutuhan daripada keinginan untuk membatasi keinginan yang tidak terbatas. Kebutuhan dharurat (primer) berkaitan dengan agama maupun dunia menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia. Luputnya kehidupan manusia diakibatkan oleh rusaknya tatanan kehidupan manusia. Konsumsi dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah bahwa
makan dan minumlah, bersedekah dan berpakaianlah kalian dengan tidak berlebih-lebihan atau kesombongan
, bukan hanya makan, minum, berpakaian, tetapi juga bersedekah menjadi salah satu elemen konsumsi. Perlu diketahui bahwa sedekah (ziswaf) karena termasuk dalam pendapatan dalam Islam. Sebagaimana pendekatan pendapatan dalam Islam yang dikemukakan oleh al-Ghazali berikut ini:
Y = C + Zakat + S Keterangan: Y: Pendapatan C: Konsumsi S: Saving
Zakat menjadi bagian dari konsumsi, sebagaimana penjelasan sebelunya. Sementara itu, impulsive buying merupakan perilaku konsumtif, yaitu melakukan pembelian atau pengeluaran sejumlah dana untuk membeli suatu produk barang atau jasa secara spontan dan tanpa perencanaan. Kaitannya dengan zakat, infak, dan sedekah, bahwa mengeluarkan dana zakat untuk mendapat pahala dan menjadi tabungan atau investasi di akhirat bukanlah kegiatan bersenang- 28Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlak
fi al-Iqtishad al -Islam, Terj: Zainal Arifin dan Dahlia Husni ( Jakarta: Gema Insani, 1997
), 99. senang dan urusan dunia semata. Dengan demikian, perilaku impulsive tidak semuanya bersifat negatif. Senada dengan tipe pembelajaan impulsive, yaitu reminder impulse impuls merupakan pembelian yang terjadi karena konsumen tiba-tiba teringat untuk melakukan pembelian produk tersebut. Melihat kondisi ini, konsumen telah pernah melakukan pembelian sebelumnya atau telah pernah melihat produk tersebut dalam iklan. Namun, karena belum memiliki biaya maka terpending untuk melakukan pembelajaan. Selain itu, tipe ini terdorong ketika melihat barang pada rak toko, display ataupun teringat informasi lainnya tentang produk tersebut. Sebagaimana dasar dalam etika konsumsi Islam, yang meliputi konsumsi halal dan baik, bentuk ketaatan kepada Allah swt., proporsional atau sesuai kebutuhan, terencana. Tampak bahwa pembelanjaan impulsive dikaitkan dengan etika konsumsi Islam, selama barang dan jasa yang konsumsi merupakan hal-hal yang menjaga dharuriyat al-khamsi,
yaitu menjaga agama , menjaga jiwa , menjaga akal , menjaga keturunan atau kehormatan, dan menjaga harta maka
bukan menjadi suatu kegiatan yang tabu. Dengan demikian, impulsive buying perlu sosialisasi dalam kondisi seperti apa yang boleh terjadi. Selain itu, dengan menggunakan tolok ukur pandangan Yusuf al-Qardhawi tentang etika umum, norma dan akhlaq dalam ekonomi Islam, maka diperoleh kondisi nilai etika konsumsi dalam pembelanjaan impulse sebagai berikut : a. Bercirikan ketuhanan dapat diartikan bahwa konsumsi Islam senantiasa sesuai dengan arahan dari Allah swt., yang terdapat Al-Qur’an dan hadis. Belanja senantiasa memperhatikan anjuran Allah swt., b. Berlandaskan etika, yaitu dalam konsumsi memperhatikan aturan Islam tentang memanfaatkan barang dan jasa karena Islam tidak memisahkan agama, ekonomi dan etika. Impulsive buying dalam koridor batasan yang tidak menyalahi aturan agama dan kondisi keuangan, seperti pemanfaatan barang dan jasa yang tidak berlebihan. c. Bercirikan kemanusiaan. Konsumsi Islam tidak memanfaatkan barang dan jasa tanpa mempertimbangkan orang lain. Mengkonsumsi proporsional membuktikan kepedulian dan kepekaan umat Islam terhadap makhluk lain yang memiliki kebutuhan yang sama. d. Bersifat keseimbangan, artinya berada pada posisi washathan, yaitu tidak seperti kapitalis yang berorientasi kepada individualisme ataupun sosialis yang berorientasi kepada penghilangan setiap hak individu. Dalam impulsive buying, pola seimbang harus dipertahankan karena pemanfaatan yang berlebihan dapat mengakibatkan tabzir dan kesombongan. C. Penutup Pembelian impulsif terjadi ketika terdapat dorongan bagi konsumen untuk membeli barang dengan tiba-tiba tanpa terencana sebelumnya. Dorongan yang dirasakan oleh konsumen berkaitan dengan motivasi konsumen untuk membeli barang secara hedonic yang menimbulkan konflik emosional sehingga melakukan pembelian impulsive. Sementara itu dalam Islam menganjurkan untuk senantiasa melakukan perencanaan. Konsumsi dalam Islam bukan hanya karena kebutuhan tetapi juga menjadi bentuk ketaatan pada Allah swt. Ketika konsumen telah memenuhi etika maka tampak akan terpenuhinya dharuriyat al-khamsi, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Konsumsi dalam Islam tidak hanya makan, minum, tetapi sedekah termasuk di dalamnya. Sedekah (ziswaf) merupakan pendapatan sehingga memanfaatkan pendapatan tersebut juga diatur dalam Islam. Dengan demikian, sosialisasi tentang perilaku pembelian impulsive diperlukan untuk mengubah pandangan masyarakat dan pelaku ekonomi konvensional tentang cara pandang ekonomi Islam yang tidak selalu melihat dari konsep saja. Tetapi, terdapat keterpaduan antara teori konsumsi dan etika Islam. Referensi Al-Aṣfihāni, Ar-Raghib. Mufradāt li Alfāẓ Al-Qur’an. Beirut: Dār al- Ma‟rifah: 1998.
Al-Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, terj. Zainal Arifin
,et.al.
Jakarta : Gema Insani Press , 2001. Al-Qazwini, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibnu Majah . Juz: II; Beirut: Dar al -Fikr, 1995. Al
-Syatibi. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. Jil. II; Bairut:
Dar al- Kutub al -Ilmiyahal, t.th. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia pustaka
, 2000.
Bahri, Andi. Etika Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Islam. Jurnal Studi Islamika 11, no. 2 (Desember 2014
).
Beekum, Rafik Issa. Etika Bisnis Islami, terj. Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
.
Dahlan, Abdul Aziz (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam . Jil: 6; Jakarta: PT . Ichtian Baru
vanHoeve, 2003. Daud Ali, Muhammad. Pendidikan Agama
Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa . Ed. IV; Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama
, 2012. Engel, Blackwell Miniard. Perilaku Konsumen. Ed.VI; Jil.2; Jakarta: Binarupa Aksara, 1994. Frederick C. Mish, ed. Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary. Ontario: Thomas Allen & Son Limited, 1993. Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah. Jil: IV; Beirut: Dar al-Risalah al- ‘Ilmiyyah, 2009. Ma’luf, Louis. Munjid fi al-Lughah wa al-A`lām. Beirut: Dār al- Masyriq, 1986. Palan, K. M., Morrow, P. C., & Trapp A. “Compulsive Buying Behavior in College Students: The Mediating Role of Credit Card Misuse.” Journal of Marketing Theory & Practice 19, no. 1 (2011)
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. Human Development . Ed. X; USA: McGraw-Hill Inc
, 2007
Rook, D. W . “Impulse Buying” in S. K. Peter E. Karl, The Elgar
Companion to Consumer Research and Economic Psychology. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 1999. Sarwoko. Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba, t.th. Widya,
Utami Christina. Manajemen Ritel: Strategi dan Implementasi Operasional Bisnis Ritel Modern di Indonesia Jakarta: Salemba Empat
, t.th. Workman, L. & David Paper. “Compulsive Buying: A Theoritical Framework.” The Journal of Business Inquiry 9, no. 1 (2010). Yuliadi, Imammudin. Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2001. _____________________________________ * Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Palu 103 104 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 105 106 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 107 108 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 109 110 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 111 112 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 113 114 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 115 116 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 117 118 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 119 120 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 121 122 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 Bilancia, Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021 123 124 Bilancia Vol. 15 No. 1, Januari-Juni 2021